Penyiar radio manapun rasanya akan sepakat kalau saya katakan pendengar adalah aset sebuah radio. Buat saya pengalaman dengan pendengar adalah hal paling berharga yang tidak akan pernah saya lupakan selama berkarir di radio yang semoga masih akan berketerusan. Sekedar berbagi pengalaman, kali ini saya mau bercerita tentang mereka, sosok-sosok yang kebanyakan tidak saya kenal wajahnya, namun banyak memberi saya pelajaran dan pengalaman berharga. Sosok-sosok yang kini lebih suka saya panggil teman ketimbang pendengar apalagi fans (emang gue artis hehe..).
~~~
Ketika Nama-nama Itu Menempel Pada Wajah Masing-MasingTulisan ini saya awali dari pengalaman paling anyar, yakni ketika radio tempat saya kerja (
Radio Singapura Internasional, Siaran Indonesia, RSI) mengadakan acara temu pendengar di Jogjakarta awal Maret 2007 lalu. Hampir 8 tahun saya siaran di radio gelombang pendek (SW) yang jangkauan siarannya merambah hingga ke berbagai pelosok dunia dan konsekuensinya adalah pendengar yang datang dari berbagai kawasan. Ini terbukti ketika temu pendengar di Jogja dihadiri bahkan oleh mereka yang datang hingga sejauh Makassar, Pontianak, Sumedang, Tuban, Malang, Surabaya, Pasuruan, Jakarta dan tentu saja sekitar Jawa tengah dan Jogjakarta.. Benar-benar sebuah penghargaan tersendiri buat saya dan kawan-kawan.
Dari kisah-kisah merekalah saya semakin tahu betapa dahsyatnya teknologi radio SW yang sekarang sering dianggap ketinggalan jaman. Padahal kenyataannya, kalau sekarang kita bicara globalisasi dan internet, para pendengar radio SW sudah lebih dulu mengglobal lewat radio SW. Ada seorang pendengar yang bahkan berinteraksi dengan radio SW sampai sejauh Rusia. Mereka juga sudah membentuk jaringan pertemanan yang luar biasa besar, mulai dari berbagai kawasan di Indonesia hingga luar negeri. Bahkan ketika saya baru mulai mencoba menebak-nebak nama di balik wajah-wajah itu, beberapa dari mereka sudah sibuk berpelukan dan saling menanyakan kabar. Yang datang pun beragam, mulai dari usia SMP dan SMA sampai ke usia lanjut. Ada juga yang datang berombongan seperti misalnya rombongan pendengar dari PT NTI Kudus dengan pakaian seragam lengkap dengan logo radio kami yang di bordir di baju mereka. Hebat!
Coba tengok pula gambar di atas ini. Itu foto saya dan Fika (penyiar juga) dengan keluarga Pak Jejen Jamiludin dan Ibu Halimatussadiyah beserta kedua anaknya. Mereka berdua bisa berkenalan, bertemu dan akhirnya menikah karena sama-sama mendengarkan siaran RSI. Padahal keduanya terpisah jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Pak Jejen dari SUmedang dan sang nyonya tinggal di Banjarmasin. Adalah Pak Aloysius di Tuban, Jawa Timur- seorang pendengar senior yang saking aktifnya dijuluki Menteri Penerangan Radio Listeners Club – yang memperkenalkan mereka melalui radio kami. Mereka bukan satu-satunya. Banyak yang juga bertemu karena sama-sama mendengar radio kami dan akhirnya menjalin hubungan mulai dari persahabatan hingga perkawinan, walau mereka terpisah jarak jauh.
Dan ketika nama-nama itu akhirnya menempel pada wajah masing-masing, saya mendengarkan cerita mereka serta mendengarkan apresiasi dan juga pastinya kritik dan komentar mereka terhadap apa yang saya kerjakan di udara, saya merasa mendapat suntikan semangat baru. Dulu waktu pertama kali training, saya diajarkan untuk selalu membayangkan tengah bicara dengan seseorang ketika berada di belakang mikrofon agar siaran kita lebih terdengar personal, maka kini saya tak payah lagi membayangkan karena tahu pasti seperti apa sosok mereka.
~~~
Bahkan Nama-Nama Tanpa Wajah Itupun Sangat Berarti
Tentu saja tak mungkin saya bisa mengungkap semua wajah di balik nama para teman pendengar seperti yang kami lakukan di Jogjakarta. Namun tanpa harus bertemu pun beragam pengalaman dan kenangan saya dapatkan dari mereka. Pengalaman itu makin beragam ketika saya tinggalkan radio FM di Jakarta dan bekerja di radio SW tempat saya kerja sekarang.
Pada suatu hari raya, misalnya, ketika saya tidak bisa pulang mudik ke Indonesia untuk berkumpul dengan keluarga, datang surat seorang pendengar dari Malaysia yang berisikan angpaw berisi uang 50 ribu rupiah. Bukan uangnya, tapi perhatiannya yang membuat saya terharu. Tak sedikit dari mereka yang mengirimkan bermacam-macam hal, mulai dari puisi, cerpen sampai karya-karya kerajinan tangan yang sederhana tapi menarik. Kalau dibayangkan, mereka menghabiskan waktu untuk membuat semua itu dan mengeluarkan uang untuk mengirimkannya ke luar negeri yang tentu tidak murah, jelas itu bukan sekedar iseng. Jelas itu didasarkan pada perhatian yang sangat besar dan penghargaan pada apa yang kami lakukan.
Seorang ibu di Timur Tengah misalnya mengirimkan satu peti kurma dan akhirnya tertahan di bagian karantina karena peraturan tidak membolehkan. Pendengar lain bercerita tentang bagaimana saya dan kawan-kawan menemaninya ketika tengah bekerja di tengah hutan yang lebat dan terpencil atau tengah berlayar di tengah lautan luas atau bahkan tengah sembunyi di bawah gorong-gorong jembatan yang sempit dan lembab karena lari menghindari dari petugas imigrasi yang mengejar pendatang haram di negeri jiran. Subhanallah! Ini pengalaman berharga yang belum tentu bisa didapat oleh banyak orang.
Ya, memang tidak semua pengalaman itu menyenangkan. Itu pasti. Semasa masih siaran di Jakarta, misalnya, pernah ada teman pendengar yang setiap hari selama berbulan-bulan mengirim kartu pos yang isinya melulu kecaman dan ancaman. Ini karena dia -yang tak pernah saya ketahui siapa karena memakai nama samaran- merasa tersinggung dan cemburu dengan sikap saya pada penyiar pasangan di siaran pagi dulu yang ternyata sangat dicintai dan dikaguminya. Bicara cinta, banyak pula yang berkirim surat cinta. Bahkan seorang ibu pernah sangat bernafsu menjodohkan saya dengan anak gadisnya. Dan -boleh percaya boleh tidak- itu tidak hanya berlaku untuk lawan jenis. Pernah ada seorang lelaki yang juga secara rutin menunggui saya selesai siaran dan menawarkan untuk mengantar pulang. Saya sampai takut siaran malam dibuatnya. hahaha.. Oya bicara cinta pula, radiolah yang akhirnya mempertemukan saya dengan istri saya sekarang.. Pastinya istri saya itu perempuan lah, bukan yang pernah rutin menunggui saya pulang itu.. hehe
Itu semua berlum termasuk pengalaman dimaki-maki dan dikirim fax serta surat berlembar-lembar hanya karena saya tidak memutarkan lagu yang diinginkannya. Pernah pula saya didatangi sekelompok orang dari suku tertentu yang merasa tersinggung dengan lelucon yang pernah saya ucapkan di udara, atau didatangi oleh Pak Lurah dan anak buahnya yang tersinggung karena saya mewawancarai bosnya tanpa ijin. Belum lagi semasa kampanye ketika radio kami didatangi satu truk pendukung partai yang merasa dirugikan oleh siaran kami hahaha..
Tapi semua itu lagi-lagi adalah pengalaman berharga yang akan selalu saya simpan sampai kapanpun. Apalagi pengalaman menyenangkan itu jauh lebih banyak dari yang menyebalkan apalagi menakutkan. Saya banyak mendapatkan teman baru dari berbagai kawasan di dunia dan bahkan tak sedikit yang akhirnya sudah seperti keluarga sendiri, walau tak diingkari ada juga yang benci saya setengah mati karena apa yang pernah saya ucapkan di udara.
Justru beragamnya pengalaman itulah yang membuat akhirnya saya paham mengapa seorang penyiar senior yang pernah saya kenal punya kebiasaan berdoa sebelum mengudara. Kenapa? Karena bisa jadi apa yang kita ucapkan di udara ini mengubah hidup orang lain dan juga hidup kita sendiri. Syukur kalau untuk kebaikan. Kalau sebaliknya? Naudzubillah.. Jangan sampai..
Apakah ada diantara anda yang penyiar dan punya pengalaman menarik dengan pendengar? Ayo, mari berbagi pengalaman.